Berbicara mengenai Alkitab dan multikultural, pertama-pertama kita perlu
mendefinisikan istilah multikultural. Multikultural 1 dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan 2 dengan kebudayaan yang lain, sedangkan masyarakat multikultural dapat diartikan
sebagai suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya
dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia,
suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta
kebiasaan.3 Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat
majemuk baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan
kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat.
Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras,
etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Berbagai macam konflik individu maupun kelompok yang terjadi di Indonesia telah menyadarkan kita, apabila hal ini terus dibiarkan
maka sangat memungkinkan terciptanya disintegrasi bangsa. Kondisi
demikian membuat kita sebagai orang percaya turut prihatin. Bagaimana pandangan
Alkitab sendiri dan kita sebagai orang percaya menghadapi kondisi
kemultikulturalan bangsa Indonesia? Kita perlu turut mengambil bagian untuk
memikirkan dari sisi teologis masalah multikultural karena kita merupakan bagian dari kemajemukan
bangsa Indonesia yang justru merupakan tanah air kita tercinta. Melalui tulisan
ini penulis bermaksud mengajak pembaca merefleksikan teologi multikultural dan
sumbangsih kita untuk kemajuan tercapainya “Bhinneka Tunggal Ika” bangsa kita.
SELAYANG PANDANG MULTIKULTURAL DALAM ALKITAB
1. Perjanjian Lama
Konsep budaya pertama kali muncul dengan istilah
terkenal “Amanat Budaya” yang berasal dari Kejadian 1:26-28. Menurut Petrus Octavianus,
teks ini berbicara mengenai mandat yang
diberikan pada manusia untuk melaksanakan segala tugas mengelola serta
memperkembangkan semua bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tujuan dan
motivasi amanat budaya adalah untuk mempermuliakan Sang Pencipta (Keluaran
20:2-6).4 Namun sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, budaya juga ikut terkena efeknya. Salah satu dampak
yang jelas terdapat dalam Kejadian 11 yang mengisahkan kacau balaunya bahasa
manusia akibat kesombongan manusia. Keberagaman bahasa yang merupakan bagian
dari budaya merupakan catatan Alkitab yang pertama mengenai masyarakat
multikultural.
Perjanjian Lama mencatat perbedaan budaya yang
dipengaruhi agama –karena ada hubungan yang erat antara agama dan budaya 5-
antara bangsa Israel dengan bangsa-bangsa Kanaan di sekitar menimbulkan
pengaruh-pengaruh. Bangsa Israel berhadapan dengan kemajemukan budaya bangsa di
sekitarnya. Namun ketika bangsa Israel bersosialisasi dengan bangsa di
sekeliling, mereka tidak selektif. Efeknya, budaya-budaya bangsa sekitarnya yang
negatif membawa bangsa Israel pada penyembahan berhala. Alkitab mencatat,
sepanjang sejarah hakim-hakim hingga bangsa Israel menuju ke pembuangan, Israel
terjerat dengan penyembahan berhala yang dipengaruhi oleh budaya kafir
bangsa-bangsa di tanah Kanaan. Hal ini membawa mereka pada penghukuman yang
berujung pembuangan selama kurang lebih tujuh puluh tahun di Babel.
2. Perjanjian Baru
Budaya bangsa Israel di
zaman Perjanjian Baru dipengaruhi oleh warna-warni budaya beberapa bangsa yang
pernah menjajah Israel, seperti Persia, Yunani dan Romawi.6 Secara khusus, saat itu bangsa Israel yang tersebar di luar Yerusalem
-Yeruselam sebagai pusat aktivitas rohani- membawa mereka pada konsep eksklusivisme
sebagai umat pilihan Allah. Pada Zaman Tuhan Yesus, Dia membawa gebrakan
tentang pentingnya inklusivisme. Yesus tidak menutup diri dari kemajemukan kebudayaan.7 Yesus tidak memandang muka dalam
pergaulan multikultural. Ketika seorang perempuan Kanaan hendak meminta tolong (Matius
15:21-28) dan seorang Perwira Roma meminta kesembuhan (Lukas 7:1-10), Yesus menjawab
kebutuhan mereka dan menolong mereka. Ini menyatakan Tuhan Yesus sendiri
menghargai keberagaman dan perbedaan budaya.
Dalam Perjanjian Baru, jemaat multikultural secara
eksplisit dicatat dalam Kisah Para Rasul 2. Orang-orang yang berasal dari
berbagai daerah dengan membawa budayanya mendengarkan khotbah Petrus dan tiga
ribu orang bertobat, serta menjadi model gereja mula-mula dalam Kis 2:41-47. Dalam
perkembangan selanjutnya, problem terjadi antara jemaat yang berbudaya Yunani
dan Yahudi (Kis 6). Perbedaan budaya antara Yahudi dan Yunani menimbulkan
banyak persoalan dalam beberapa jemaat, seperti di Roma, Korintus, yang menimbulkan
perpecahan dan perselisihan mengenai kebiasaan-kebiasaan jemaat. (1 Korintus 11).
PENGHARGAAN
TERHADAP MULTIKULTURAL: LANGKAH KESATUAN DI DALAM KEMAJEMUKAN
Paulus sebagai teolog sekaligus misionaris Yahudi yang
mendedikasikan hidup dalam ladang pelayanan bagi orang-orang non-Yahudi memberikan
banyak nasihat dalam menghadapi multikultural. Salah satunya dia sampaikan dalam 1 Korintus
12:13,” Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang
Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan
kita semua diberi minum dari satu Roh.” Paulus menekankan pentingnya kesatuan
di dalam semua kemajemukan. Permasalahannya, bagaimana cara yang tepat menimbulkan
kesatuan ini? Menghargai kemajemukan budaya menjadi kunci kesatuan.8 Hal ini dipertegas oleh Yonky Karman yang mengungkapkan bahwa mengakui
keberagaman dalam praksis pergaulan menjadi tuntutan saat ini.9 Menurut dia, mengakui keberagaman tidak berarti memadukan berbagai unsur
perbedaan (sinkretisme).10
Hal ini tersimpulkan ke dalam paham mengenai
multikulturalisme. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan
pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup
dalam pengertian budaya adalah para pendukung budaya, baik secara individual
maupun secara kelompok, dan terutama ditujukan terhadap golongan sosial
askriptif yaitu suku bangsa (dan ras), gender, dan umur.11 Ideologi bangsa Indonesia sendiri sudah merepresentasikan penghargaan terhadap multikultural,
yaitu di dalam Pancasila yang dimanifestasikan dalam sistem demokrasi
Pancasila.
Kita sebagai orang percaya perlu menjunjung tinggi
penghargaan multikultural. Historika awal keberagaman budaya dunia yang bernada
kelam (Kejadian 11:1-9) tidak perlu kita lihat secara negatif. Markus D. L. Dawa
mengatakan bahwa perbedaan budaya harus dipandang sebagai anugerah Allah, bahwa
kita membutuhkan budaya lain untuk melihat keterbatasan budaya sendiri dan
memperluas pemahaman kita akan Allah dan kompleksitas serta keutuhan ciptaan.12 Implikasinya, kita perlu memiliki sikap inklusif kritis. Ini mengandung arti kita
terbuka dengan kemajemukan budaya di sekeliling, baik menerima maupun saling
memberikan pengaruh kemajemukan budaya, namun tentunya dengan filterisasi dari
Firman Tuhan yang menjadi otoritas tertinggi di atas budaya (kontekstualisasi,
bukan sinkretisme). Paulus memberikan nasihat untuk sebagai filter kebudayaan:
“Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna.
“Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.”
(1 Korintus 10:23). Langkah praktis yang dapat kita sumbangkan bagi kesatuan di
dalam kemajemukan budaya Indonesia adalah memberikan pengajaran jemaat tentang
untuk mengembangkan sikap penghargaan kemajemukan budaya di Indonesia, baik di
gereja-gereja, maupun lembaga pendidikan. Dengan demikian, “Bhinneka Tunggal Ika”
tidak mustahil dapat diwujudkan.
(Ditulis oleh: Sdri. Liu Wisda)
email: liuwisda@gmail.com
1. Tampaknya
para ahli tidak membedakan istilah multikultural dengan istilah kemajemukan
atau keragaman budaya, karena sering dipakai secara bergantian. Lih. http://id.wikipedia.org/wiki/Kebinekaan;
diakses 30 September 2011.
2. Istilah
budaya memiliki makna suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi, sedangkan
kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga
dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Lih. http://id.wikipedia.org/wiki/Kebinekaan.
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Kebinekaan.
4. Beliau
merupakan seorang teolog yang bergelut dalam Misi Lintas Budaya; P.Octavianus, Identitas Kebudayaan Asia dalam Terang Firman Allah, (Malang:
Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 1985), hal.11.
5. Ibid.,
hal.5.
6. ---, Latar Belakang Politik, Sosial, dan Ekonomi Dunia PB, (Christian Center,
2005-2011)[artikel online]; diambil dari http://christiancenter.or.id/content/view/45/73/
; diakses 30 September 2011.
7. Hubungan
Yesus dengan non-Yahudi terlihat sejak kelahiran-Nya, yang dicatat dalam Matius
2. Dalam pasal itu, diceritakan bahwa orang-orang Majus dari Timur yang
mengindikasikan bahwa mereka bukan orang Yahudi datang menyembah Yesus yang
masih kecil.
8. Dia
memberi nasihat dalam Roma 15:1 bahwa Jemaat Yunani yang mayoritas belajar
untuk menghargai jemaat Yahudi sebagai
kaum minoritas di dalam kota Roma.
9. Yonky
Karman, Merayakan Hidup dalam Keberagaman,
(Jakarta: ANDI, 2007), hal. 18.
10. Ibid.
11. Parsudi
Suparlan, Dipresentasikan dalam Workshop Yayasan Interseksi, Hak-hak Minoritas dalam Landscape Multikultural, Mungkinkah di
Indonesia?, Wisma PKBI, 10 Agustus 2004, 14.00-17.00 bbwi ; sumber dari http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/masyarakat_majemuk.html.
12. Markus
D. L. Dawa, Menjadi Jemaat Multikultural:
Suatu Visi untuk Gereja-gereja Tionghoa Injili Indonesia yang Hidup di tengah
Konflik Etnis dan Diskriminasi Rasial, Veritas 7/1 (Malang: SAAT, April
2006), hal. 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar