Sejak beberapa dekade terakhir ini isu
tentang gender telah menjadi wacana umum, termasuk dalam konteks kekristenan.
Isu ini telah melahirkan dua pandangan yang saling bertentangan, yaitu golongan
tradisional dan progresif. Golongan tradisional menilai ayat-ayat tertentu dalam
Alkitab (Ef 5:22-24; 1Kor 11:3; 14:35; 1Tim 2:11-12) dan tradisi kekristenan
tetap mengikat kehidupan orang Kristen di abad modern ini. Mereka yang memegang
pandangan ini hanya memberi kebebasan dalam taraf tertentu kepada wanita sejauh
yang diperbolehkan Alkitab. Wanita dilarang mengambil berbagai peran
kepemimpinan dalam gereja, misalnya tidak boleh berkotbah, mengajar, tampil di
podium/mimbar, memimpin komisi, dll.
Di sisi lain, golongan progresif
menganggap norma tersebut tidak relevan lagi dan membutuhkan reinterpretasi.
Mereka memakai beberapa ayat Alkitab yang tampaknya mendukung kesejajaran
gender, misalnya Gal 3:28 “tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu
semua adalah satu di dalam Kristus Yesus”. Beberapa pemimpin wanita di Alkitab
juga sering ditampilkan sebagai dukungan terhadap pandangan mereka, misalnya Debora
(Hak 4:4), Hulda (2Raj 22:14; 34:22), Ester (Est 2:17), Febe (Rom 16:1-2),
Yunias (Rom 16:7), anak-anak Filipus (Kis 21:9). Selain itu, mereka juga
dipengaruhi oleh apa yang sedang berkembang di luar gereja. Bagaimana mungkin
wanita tetap didiskriminasikan di gereja, padahal mereka di luar gereja sudah
memimpin perusahaan yang besar dan memegang berbagai tingkat kepemimpinan di
perusahaan? (Smith:1989, 8).
Bentuk konkret dan ekstrem dari
pemikiran golongan progresif adalah feminisme. Feminisme bukan hanya menuntut
kesamaan hak antara pria-wanita, tetapi juga penafsiran ulang konsepsi
tradisional yang mendasar yang membedakan antara pria dan wanita (Neuer: 1991, 16).
Gerakan yang terjadi di luar gereja ini akhirnya juga berdampak dalam kehidupan
orang Kristen secara pribadi maupun bergereja. Mereka mencoba
menginterpretasikan ulang ayatayat Alkitab tertentu sehingga mendukung
pandangan mereka. Mereka juga menuntut kesamaan posisi dan peranan wanita dalam
gereja.
Signifikansi
isu gender
Apakah isu ini merupakan sesuatu yang
sangat penting? Seberapa jauh pengaruh yang ditimbulkan dari masing-masing
pandangan? Penjelasan berikut ini menunjukkan bahwa isu ini merupakan
pertanyaan krusial yang harus dijawab secepatnya dan sejelas-jelasnya oleh gereja.
Hal pertama yang perlu diketahui adalah
kaitan isu ini dengan otoritas Alkitab. Bagaimana orang Kristen
mengharmonisasikan ayat-ayat Alkitab yang dipakai oleh golongan tradisional maupun
progresif? Apakah Alkitab memang memuat hal-hal yang kontradiktif, seperti keyakinan
Mollenkott, 1977: 90-106? Apakah ajaran Alkitab bersifat descriptive (gambaran)
atau prescriptive (keharusan)? Apakah Alkitab yang ditulis puluhan abad yang
lalu masih relevan dengan kehidupan sekarang? Jadi, isu ini berhubungan dengan
kesatuan Alkitab dan otoritasnya dalam kehidupan orang Kristen modern.
Masih berhubungan dengan hal di atas,
isu gender ternyata telah merambah dunia teologi. Salah satu yang paling sering
diperdebatkan adalah inclusive language dalam terjemahan Alkitab. Mereka yang
mendukung kesejajaran gender berusaha untuk menghilangkan terjemahan
tradisional yang lebih bernuansa maskulin dan menggantinya dengan yang lebih netral,
misalnya kata Yunani anqrwpos yang biasa diterjemahkan “man” diganti dengan “human
being”. Terjemahan “man” hanya boleh dipakai kalau memang kata Yunani yang dipakai
adalah anhr (“laki-laki”). Hasil dari terjemahan ulang ini adalah The Inclusive
Language Lectionary yang diterbitkan oleh The National Council of Churches
(Neuer:1991, 20). Sebagian bahkan menolak diskripsi Allah yang tampak maskulin,
misalnya sebutan “Abba, Bapa” diganti “Allah, Ibuku dan Bapakku”, sebutan
“Allah Bapa” (pribadi) diganti “Allah sebagai Bapa” (peranan).
Hal selanjutnya berhubungan dengan
implikasi yang ditimbulkan dari isu ini. Setiap orang memiliki pandangan
tersendiri terhadap isu ini dan pandangan tersebut pasti terimplementasi dalam
kehidupan sehari-hari, baik di gereja maupun di rumah. Secara khusus, isu
gender ini berhubungan dengan kesatuan dalam gereja maupun rumah tangga. Smith
mengatakan, “the stakes are high. At risk is the unity of the church and
harmony in the home” (1989, 8).
Peranan
wanita: dahulu sampai sekarang
Dari
masa Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru
Salah satu bagian penting dalam
pembahasan tentang peranan pria-wanita menurut Alkitab adalah cara pandang
terhadap wanita dalam berbagai budaya kuno yang berhubungan dengan Alkitab.
Budaya yang dimaksud adalah budaya Babel, Asyur, Yahudi dan Romawi (untuk pembahasan
detil, lihat Hurley:1981, 20-30, 58-78). Pemahaman yang memadai tentang peranan
wanita dalam keempat budaya tersebut akan memberikan pencerahan untuk melihat kesamaan
dan keunikan perspektif Alkitab.
Berdasarkan Hukum Hammurabi, sebuah
hukum Babel kuno yang sejaman dengan Abraham, dapat disimpulkan bahwa
masyarakat Babel menganut paham paternalistik. Wanita mendapatkan posisi yang
lebih rendah daripada pria. Pria diberi hak prerogatif untuk memutuskan sebuah
pernikahan, sedangkan wanita hanya bisa menceraikan suaminya melalui jalur
pengadilan. Wanita harus membuktikan bahwa suaminya telah menyeleweng dan
menyakiti hatinya. Jika ia berhasil membuktikan, ia diperkenankan untuk kembali
ke rumah orang tuanya. Tidak ada hukuman apapun bagi si pria. Sebaliknya,
apabila seorang pria membuktikan bahwa istrinya telah mempermalukan dirinya, si
wanita dihukum mati dengan cara ditenggelamkan ke dalam air.
Catatan Hammurabi juga mengindikasikan
gambaran tentang wanita yang “agak positif”. Dalam peraturan keagamaan Babel
para wanita bisa berfungsi sebagai imam. Sayangnya, tidak ada rujukan yang
jelas tentang peranan mereka sebagai imam. Sebagian besar sarjana menduga
mereka hanya berfungsi sebagai pelacur bakti (melayani hubungan seksual dengan para
pria sebagai media untuk bersekutu dengan dewa yang disembah).
Budaya Asyur memiliki pandangan yang
lebih negatif terhadap wanita dibandingkan budaya Babel. Perceraian hanya
menjadi hak suami. Suami juga menentukan apakah ia akan memberi sesuatu kepada
istrinya setelah perceraian ataukah ia menyuruh istrinya pulang ke orang tuanya
tanpa membawa harta papun, kecuali pada waktu pernikahan si istri meminta perjanjian
tertentu yang mengatur tentang pemberian harta tersebut. Konsep tentang perzinahan
hanya dibatasi pada wanita yang sudah menikah. Jika seorang pria diketahui
telah berzinah, ia bisa membersihkan dirinya dengan bersumpah bahwa ia tidak
mengetahui kalau si wanita telah menikah. Jika seorang wanita berzinah,
suaminya bebas memutuskan hukuman apa saja yang layak bagi dia dan pasangan
zinahnya, dari teguran lisan, pemotongan bagian tubuh tertentu sampai hukuman
mati.
Dalam kehidupan sosial, peranan wanita
Asyur lebih terbatas dibandingkan wanita Babel. Jika suami mereka memiliki
status sosial yang tinggi, mereka dilarang terlibat dalam pekerjaan di luar.
Kemungkinan besar hanya petani dan pengrajin yang melibatkan bantuan wanita.
Dalam bidang keagamaan, tidak ada catatan yang jelas tentang peranan wanita
Asyur.
Para sarjana menduga mereka memiliki
peran yang hampir sama dengan para wanita Babel, yaitu sebagai imam (dalam arti
pelacur bakti).
Gambaran tentang wanita dalam literatur
Yahudi juga tidak berpihak pada wanita. Wanita tetap dianggap lebih rendah
daripada pria. Philo, seorang penafsir Yahudi abad ke-1 M, mengangap wanita
kurang rasional dan cenderung mengandalkan sensualitas mereka. Josephus,
sejarawan Yahudi abad ke-1 M, secara eksplisit dan konsisten menempatkan wanita
di bawah pria dalam segala sesuatu. Talmud mengajarkan doa dan ucapan berkat
yang secara jelas menganggap keberadaan sebagai pria lebih terhormat dan
beruntung daripada wanita.
Dalam kehidupan sosial, peranan wanita
Yahudi cenderung dibatasi pada pekerjaan di rumah. Bagi yang harus di luar
rumah (untuk berladang atau berjualan), mereka tetap mendapat perlakuan
berbeda. Mishnah mencatat larangan dan peringatan bagi mereka yang berbicara banyak
dengan wanita. Orang yang melakukan hal ini dianggap mendatangkan kejahatan pada
diri mereka, mengabaikan Taurat dan akhirnya mewarisi neraka. Rabi yang lain
bahkan memperbolehkan seorang suami menceraikan istrinya tanpa memberi dia
apa-apa jika wanita itu diketahui berbicara dengan pria lain.
Tentang keberadaan wanita dalam
pernikahan, para rabi memiliki pandangan yang beragam. Sebagian menganggap
memiliki istri sebagai berkat, terutama istri yang sanggup memberikan banyak
keturunan. Sebagian hanya melihat istri sebagai penjaga anak-anak dan instrumen
agar tidak jatuh ke dalam dosa seksual. Bagaimanapun, para rabi sepakat bahwa
otoritas dalam rumah berada di tangan suami.
Bagaimana dengan peranan wanita dalam
keagamaan? Posisi wanita dalam ibadah publik dibedakan dengan posisi pria. Di
bait Allah mereka hanya diperbolehkan berada di pelataran wanita atau pelataran
non-Yahudi. Di synagoge mereka juga hanya bisa berdiam diri. Mereka tidak
diperbolehkan bertanya, apalagi mengajar orang lain. Wanita hanya boleh
mengajar anak-anak mereka di rumah sendiri. Peraturan pendirian synagoge juga
mengindikasikan bahwa keberadaan wanita di synagoge tidak diperhitungkan.
Sebuah synagoge diperbolehkan berdiri kalau ada minimal 10 orang laki-laki (Kis
16:13).
Posisi wanita dalam budaya Romawi
merupakan yang paling positif. Wanita diberi keleluasaan untuk mengatur rumah
dan harta. Dalam keluarga yang kaya, wanita diberi kesempatan mendapatkan
pendidikan yang baik. Hal ini sesuai dengan catatan Perjanjian Baru tentang
beberapa wanita berpengaruh dari kalangan menengah ke atas, misalnya Lidia (Kis
16) dan Priskila (Kis 18). Dalam pernikahan, posisi wanita relatif lebih aman,
karena peraturan perceraian yang menguntungkan wanita. Pendeknya, wanita memang
masih di bawah pria, tetapi perbedaan tersebut tidak menyolok seperti dalam
budaya yang lain.
Pada
abad permulaan
Dalam pembahasan bagian ini akan
dipaparkan peranan wanita dalam gereja pada masa pasca rasuli sampai abad ke-5
M. Peranan mereka menurut Yesus dan para rasul tidak akan dipaparkan di sini
untuk menghindari pembahasan yang tumpang-tindih, karena hal itu akan dibahas
secara detil di bagian selanjutnya.
Para bapa gereja yang menjadi penerus
para rasul memiliki pandangan beragam tentang peranan wanita dalam gereja.
Bagaimanapun, sebagian besar dari mereka memberikan penilaian yang relatif
negatif terhadap wanita, seperti yang dinyatakan oleh Arthur F. Ide, “with few
exceptions, the Fathers of the Early Church were anti-feminists or anti-women” (1984,
61). Clement dari Aleksandria (150-215 M) mula-mula mengakui kesamaan hak wanita
dalam hal mendapatkan pengajaran Firman, tetapi akhirnya ia mengakui
superioritas laki-laki atas wanita. Konsep ini diteruskan oleh muridnya, Origen
(185-254 M). Dionysius (190-264 M) sangat mengkuatirkan sentuhan dengan wanita,
siapa tahu wanita tersebut sedang menstruasi sehingga membuat ia najis.
Epiphanius (315-403 M) menganut gaya hidup asketisisme yang menjauhi semua
kenikmatan badani, termasuk yang berhubungan dengan wanita. Ia memandang wanita
sebagai makhluk yang lemah dan hanya mengandalkan perasaan saja. Daftar ini
bisa diperpanjang lagidengan menyebut beberapa nama bapa gereja yang lain,
misalnya Irenaeus, Tertullianus, Cyprian, Agustinus, Jerome.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
pandangan negatif terhadap kepemimpinan wanita dalam gereja pada periode ini.
Pertama, beberapa pernyataan rasul Paulus yang dianggap meletakkan dasar bagi
superioritas pria dalam gereja dan ibadah. Kedua, praktek hidup asketisisme
yang sedang berkembang waktu itu. Ketiga, penggabungan kekuasaan gereja dan pemerintahan
(politik) menuntut pemimpin gereja yang handal dalam hal kerohanian (teologi),
administrasi gereja maupun politik.
Pandangan
Alkitab tentang peranan pria-wanita
Sejarah singkat di atas memang berguna untuk
melihat gambaran umum tentang peranan wanita di masa lampau. Bagaimanapun,
tradisi tetap tidak bernilai normatif (mutlak) bagi pemecahan masalah gender.
Pedoman satu-satunya adalah Alkitab, karena itu bagian ini akan membahas setiap
ayat yang berhubungan dengan isu ini. Pada bagian akhir akan ditutup dengan
konklusi dari apa yang akan dibahas dalam bagian ini dan relevansinya bagi kehidupan
orang Kristen modern.
Wanita
menurut Yesus
Mereka yang menerima kesejajaran gender
biasanya menjadikan sikap Yesus yang positif kepada wanita sebagai argumentasi
mereka. Mereka menekankan keunikan sikap Yesus dibandingkan dengan konsep orang
maupun rabi Yahudi pada waktu itu. Yesus mengajarkan bahwa wanita akan mewarisi
kehidupan kekal (Mat 24:41; Luk 17:36). Wanita diberi hak yang sama dalam hal
perceraian maupun pernikahan (Mar 10:12). Tidak seperti pria Yahudi yang lain,
Yesus berbicara dan menyentuh wanita (Mar 5:24-34). Ia menyebut wanita sebagai anak
Abraham (Luk 19:9). Ia memperhatikan janda (Luk 2:36; 4:25-27; 18:1-8; 21;1-4;
Mar 12:38-44; Mat 8:14-15) dan wanita berdosa (Luk 7:36-50). Beberapa wanita
melayani (diakonew) Yesus selama Ia berkarya di dunia (Mar 15:40-41//Mat
27:55-56; Luk 8:2-3).
Apakah gambaran di atas mendukung
kesejajaran gender dalam gereja atau rumah tangga? Data yang ada hanya bersifat
sangat umum. Data di atas hanya menunjukkan bahwa Yesus menghargai wanita lebih
daripada orang-orang Yahudi menghargai mereka. Namun, tidak ada satu ayat pun
yang mengindikasikan bahwa wanita boleh memimpin pria dalam ibadah maupun rumah
tangga. Dengan kata lain, data di atas tidak memberi dukungan yang konklusif
seperti yang selama ini dipahami oleh penganut kesejajaran gender.
Galatia
3:28
Ayat ini merupakan salah satu ayat
penting bagi penganut kesejajaran gender. Paulus mengatakan bahwa di dalam
Kristus tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Ayat ini dianggap mendukung
kesamaan posisi pria dan wanita dalam pelayanan di gereja. Apakah penafsiran
ini tepat?
Penyelidikan yang lebih teliti menunjukkan
bahwa Galatia 3:28 tidak bisa dijadikan dasar untuk menuntut kesejajaran gender
dalam pelayanan di gereja. Ketika Paulus menulis ayat ini ia bukan sedang
membicarakan kesamaan posisi pria dan wanita dalam pelayanan gereja maupun
pernikahan. Ia sedang menentang legalitas Yudaisme yang mengajarkan bahwa Taurat
(sunat) memegang peranan penting dalam keselamatan (ayat 1-5). Dengan demikian mereka
membatasi keselamatan hanya pada orang Yahudi saja. Untuk menentang ajaran ini Paulus
menegaskan pentingnya iman dalam keselamatan. Ia mendasarkan argumentasinya pada
kisah hidup Abraham yang dibenarkan karena iman (ayat 6). Selanjutnya ia
menjelaskan bahwa yang disebut anak-anak Abraham adalah mereka yang memiliki
iman seperti Abraham (ayat 7, 26, 29). Berdasarkan hal ini, Paulus menyatakan
bahwa semua orang berhak menjadi anak Abraham melalui iman, tidak peduli apakah
orang itu adalah Yahudi atau non-Yahudi, budak atau orang merdeka, laki-laki
atau wanita. Jadi, kesamaan antara pria dan wanita di sini terkait dengan cara
seseorang diselamatkan atau disatukan dalam Kristus, yaitu melalui iman.
Tokoh-tokoh
wanita dalam Perjanjian Baru
Tokoh pertama yang perlu dibahas adalah
Febe (Rom 16:1-2). Di ayat 1b Febe disebut sebagai diakonos. Kata ini
diterjemahkan secara beragam: “servant” (KJV/NIV/NASB), “deaconess/deacon”
(RSV/NRSV) atau “ministrant” (YLT). Seandainya yang dimaksud diakonos dalam
ayat ini adalah diaken, maka ayat ini kemungkinan memberikan salah satu contoh
kepemimpinan wanita dalam jemaat. Apakah memang Paulus memaksudkan arti ini?
Paulus memakai kata diakonos sebanyak 20
kali. Kata ini bisa merujuk pada pemerintah sekuler sebagai hamba Allah (Rom
13:4), Yesus (Rom 15:8; Gal 2:17), Paulus sendiri atau rekan sekerjanya (1Kor
3:5; 2Kor 3:6; 6:4; Ef 3:7; 6:21; Kol 1:7, 23, 25; 4:7; 1Tim 4:6), orang yang
memegang jabatan tertentu dalam jemaat (Flp 1:1; 1Tim 3:8, 12). Dari keberagam arti
yang ada, arti sebenarnya dari kata diakonos harus dilihat dari konteks di mana
kata ini dipakai. Penyebutan ousan diakonon ths ekklhsias ths en Kencreais
(lit. “diakonos gereja di Kenkrea”) tampaknya mengindikasikan bahwa Febe
memegang jabatan tertentu di gereja Kenkrea. Dengan kata lain, Febe merupakan
diaken di gereja tersebut (Cranfield, Vol. I: 1979, 781; Moo:1996, 913).
Bagaimanapun, jabatan Febe sebagai
diaken tidak bisa dijadikan bukti konklusif untuk mendukung kepemimpinan wanita
dalam jemaat. Pada masa gereja mula-mula belum ada jabatan formal dengan tugas
yang sudah baku seperti yang orang Kristen pahami sekarang. Jabatan formal baru
terbentuk pada periode selanjutnya ketika gereja semakin berkembang dan sadar
tentang perlunya organisasi yang tersistem. Selain itu, tugas seorang diaken
dalam gereja mula-mula juga masih tidak terlalu jelas dan spesifik (belum tentu
kepemimpinan rohani atau pemberitaan Firman). Sebagian sarjana menduga tugas
seorang diaken adalah mengunjungi orang sakit, menolong orang miskin dan
mengawasi keuangan. Dalam konteks Roma 16, tugas sosial ini tampaknya lebih
menonjol. Paulus meminta jemaat Roma memberi apa saja (pragma) yang dibutuhkan
Febe, sebagaimana ia telah menjadi prostatis (“penolong”) Paulus. “Penolong” di
sini jelas lebih merujuk pada bantuan fisik/materi kepada Paulus, karena
tampaknya janggal kalau Febe menjadi penolong rohani bagi Paulus (dalam arti
memberikan pengajaran bagi Paulus). Seandainya ini diterima, maka yang dimaksud
dengan pragma (LAI:TB “bantuan”) di ayat ini merupakan bantuan secara
fisik/materi, misalnya makanan, akomodasi, uang.
Tokoh lain yang perlu dibahas adalah
Yunias. Dalam Roma 16:7 Paulus menyampaikan “salam kepada Andronikus dan
Yunias...orang-orang yang terpandang di antara para rasul”. Seandainya Yunias
di sini adalah nama perempuan dan frase “terpandang di antara para rasul”
mengindikasikan “bagian dari para rasul”, maka ayat ini menunjukkan adanya
rasul wanita dalam gereja mula-mula.
Hal pertama yang perlu diketahui adalah
bentuk akusatif (sebagai objek) dari nama Iounian. Nama ini bisa berasal dari
Iounias (maskulin) atau Iounia (feminin). Sebagian versi Inggris menerjemahkan
sebagai maskulin “Yunias” (NIV/RSV/NASB/TEV), sedangkan yang lain mengambil
feminin “Yunia” (KJV/NRSV/REB). Penyelidikan yang lebih teliti tampaknya
mendukung Iounian sebagai nama wanita. Nama Iounia merupakan nama wanita yang cukup
umum dipakai waktu itu, sedangkan nama laki-laki yang lebih umum dipakai adalah
Iounianos (bukan bentuk pendek Iounias). Selain itu, Roma 16 memuat beberapa
nama pasangan suami-istri, misalnya Priskila-Akwila (ayat 3) dan
Filologus-Yulia (ayat 15), sehingga “Andronikus-Yunia[s]” lebih baik dipahami
sebagai suami-istri juga.
Hal lain yang perlu diperjelas adalah
arti epishmoi en tois apostolois (LAI:TB “terpandang di antara para rasul”).
Beberapa sarjana menerjemahkan frase ini dengan “[dianggap] terpandang oleh
para rasul”, karena kata depan en yang diikuti kasus datif (tois apostolois)
bisa berarti “oleh”. Usulan ini biasanya ditolak oleh para penafsir maupun penerjemah.
Kata depan en yang diikuti kata benda berjumlah jamak hampir selalu berarti “di
antara”. Seandainya Paulus ingin menulis “oleh para rasul” ia bisa memakai
bentuk yang lebih umum, misalnya {upo twn apostolwn.
Apakah penjelasan di atas mendukung
adanya jabatan rasul bagi wanita? Hal ini tergantung pada apa yang dimaksud
Paulus dengan apostolos di ayat ini. Mayoritas sarjana berpendapat bahwa
apostolos di sini dipakai dalam arti yang lebih luas (bukan merujuk pada 12
rasul).
Dalam tulisan Paulus, apostolos memang
bisa dipakai untuk “utusan biasa” (2Kor 8:3; Flp 2:25), penginjil yang diutus
(1Kor 9:5-6; 2Kor 8:23), rasul palsu (2Kor 11:5; 12:11). Ayat yang secara
khusus membedakan antara apostolos dengan murid-murid Tuhan Yesus adalah 1Korintus
15:5 (murid-murid Tuhan Yesus) dan 1Korintus 15:7 (rasul-rasul). Dari studi
kata ini bisa ditarik kesimpulan bahwa Paulus kemungkinan besar hanya memakai
kata apostolos dalam arti yang lebih luas, yaitu orang-orang yang diutus gereja
untuk suatu tugas tertentu. Jadi, Yunias tampaknya memang terlibat dalam
pemberitaan Injil, tetapi itu tidak berarti bahwa ia memegang jabatan
kepemimpinan dalam jemaat.
Tokoh terakhir yang perlu diselidiki
adalah anak-anak Filipus di Kisah Rasul 21:9. Mereka disebut sebagai tessares
parqenoi profeteuousai (lit. “empat perawan yang bernubuat”). Beberapa versi
menerjemahkan dengan “yang memiliki karunia bernubuat” (NRSV/NLT), “para
nabiah” (NASB) atau “yang bernubuat” (KJV/ASV/NIV). Terjemahan apapun yang
dipilih tetap tidak berpengaruh, karena di tempat lain Lukas secara eksplisit menyebut
seorang wanita bernama Anna sebagai nabiah (Luk 2:36 profhtis) atau kemampuan
wanita dalam bernubuat (Kis 2:17-18). Paulus pun mengetahui keberadaan beberapa
wanita yang dipakai Tuhan dalam bernubuat (1Kor 11:5). Perjanjian Lama juga menyebut
Debora sebagai nabiah (Hak 4:4, LXX profhtis). Penjelasan ini jelas menunjukkan
bahwa seorang wanita bisa dipakai Allah sebagai nabi atau untuk bernubuat.
1Korintus
14:34
Ayat ini merupakan salah satu ayat yang
paling sulit dalam diskusi tentang isu gender dalam Alkitab. Para sarjana
mengalami kesulitan mengharmoniskan ayat ini dengan 1Korintus 11:5 yang
tampaknya memberi peluang bagi wanita untuk berbicara (bernubuat) dalam jemaat.
Beberapa menganggap pertemuan di dua pasal tersebut berbeda sifatnya. Di pasal
11 pertemuan bersifat non-formal, skala lebih kecil dan hanya dihadiri orang
Kristen saja sedangkan di pasal 14 pertemuan yang dimaksud lebih besar, formal
dan dihadiri orang Kristen maupun non-Kristen (De Vos:1976, 48; Neuer:1991,
118). Pembedaan ini hanya bersifat dugaan saja dan terlalu dipaksakan. Teks
tidak memberikan indikasi ke arah sana.
Sebagian sarjana bahkan menganggap ayat
34-35 bukan sebagai tulisan Paulus, tetapi tambahan dari penyalin Alkitab
mula-mula yang mencoba memasukkan ide di 1Timotius 2:9- 15 ke dalam bagian ini.
Dugaan ini Cuma sangat subjektif dan spekulatif, karena tidak ada satu pun dari
salinan kuno surat 1Korintus yang ditemukan yang tidak memiliki dua ayat ini. Ketika
penafsir gagal menyelaraskan suatu teks, ia tidak berhak mengasumsikan bahwa
teks tersebut dalam autografa tidak ada.
Hal utama yang perlu dibahas adalah
pengertian “berbicara” (lalew). Sebagian sarjana menghubungkan ini dengan
bahasa roh yang memang menjadi inti pembahasan di 1Korintus 14. Mereka
menganggap bahwa wanita dilarang berbahasa roh dalam jemaat. Pendapat ini tampaknya
tidak sesuai dengan konteks pasal ini. Paulus selalu memakai lalew + glwssa apabila
ia ingin memaksudkan “berkata-kata dalam bahasa roh” (ayat 2, 4, 5, 6, 9, 13,
18, 23, 27, 39). Dalam bagian ini Paulus melarang penggunaan bahasa roh dalam
ibadah bukan atas dasar gender, tetapi ketidakteraturan dan ketidakadaan
penafsir (ayat 27-28). Selain itu, pendapat ini juga bertentangan dengan ayat
35 “baiklah mereka menanyakan kepada suaminya di rumah”.
“Berbicara” di sini juga pasti tidak
berhubungan dengan pemberitaan (pengajaran) Firman. Paulus tidak melarang
wanita bernubuat (1Kor 11:5). Di samping itu, apa yang ingin dikatakan para
wanita di sini adalah apa yang mereka bisa lakukan di rumah kepada suami mereka.
“Jika mereka ingin mengetahui sesuatu...menanyakan” jelas tidak mungkin menunjuk
pada aktivitas mengajar (memberitahukan sesuatu).
Sebagian sarjana yang lain menduga
Paulus kemungkinan besar sedang melarang pembicaraan wanita yang dianggap
berpotensi untuk mengganggu ibadah. Para sarjana menduga pembicaraan yang
dilarang ini mungkin merujuk pada pertanyaan spontan tentang apa yang sedang
diucapkan orang lain dalam bahasa roh atau apa yang sedang disampaikan oleh
seorang pengkhotbah, pertanyaan tertentu kepada laki-laki lain yang bukan suami
mereka, atau sekedar bisik-bisik yang mengganggu konsentrasi orang lain dalam
ibadah.
Kemungkinan lain adalah menafsirkan
“berbicara” di sini sebagai “mengevaluasi karunia nabi”. Konteks ayat 29-38
adalah penggunaan karunia nubuat yang harus teratur. Keteraturan ini
membutuhkan tanggapan (evaluasi) orang lain terhadap apa yang dinubuatkan
seseorang (ayat 29). Kata “berdiam diri” yang muncul di ayat 30 dan 34 memberi
petunjuk bahwa aktivitas menanggapi nubuat di ayat 30 sama dengan aktivitas
perempuan berbicara di ayat 34.
Larangan bagi wanita untuk mengevaluasi
orang lain (laki-laki) yang sedang bernubuat di sini terkait dengan isu
otoritas. Ketika seseorang mengevaluasi orang lain, ia menempatkan diri di atas
orang yang dievaluasi. Sesuai dengan natur wanita (1Kor 11:3), mereka dilarang mempraktekkan
otoritas mereka di atas laki-laki.
1Timotius
2:11-12
Teks ini merupakan ayat yang paling
kontroversial dalam diskusi tentang kesejajaran gender. Dua ayat ini secara
jelas melarang wanita mengajar atau memerintah laki-laki. Mereka yang mendukung
kesejajaran gender berusaha melunakkan perintah tersebut dengan cara melihat pernyataan
Paulus di sini sebagai sesuatu yang situasional. Sebagian dari mereka bahkan berani
mempertanyakan validitas penafsiran Paulus terhadap Kejadian 3 di ayat 13-14. Terjemahan
ayat 11 dalam LAI:TB memberi kesan bahwa Paulus memberikan dua perintah: wanita
berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Menurut struktur kalimat Yunani,
ayat 11 hanya memiliki satu kata perintah, yaitu “belajar” (manqanetw). Kata kerja ini diterangkan dengan dua frase yang
berbentuk kata depan en + kata benda
datif, masing-masing en {esucia (“dalam
ketenangan”) dan en pash {upotagh
(“dalam setiap ketundukan”). Jadi, ayat 11 seharusnya diterjemahkan
“hendaklah seorang wanita belajar dalam
ketenangan dan dalam setiap ketundukan”.
Ayat 12 “lebih ekstrem” daripada ayat
11. Paulus tidak mengijinkan wanita untuk mengajar maupun
memerintah/mendominasi laki-laki, tetapi untuk berada dalam ketenangan. Ayat
ini jelas meletakkan batasan bagi peranan wanita dalam ibadah, khususnya dalam
bidang pengajaran. Bagaimanapun, motivasi di balik larangan ini terletak pada
kesan otoritatif wanita atas laki-laki. Pemakaian larangan untuk mengajar dan
mendominasi laki-laki dalam bagian ini menyiratkan bahwa isu yang ada bukanlah
boleh mengajar atau tidak boleh. Isu yang lebih penting di sini adalah
perbedaan otoritas antara laki-laki dan perempuan.
Dilihat dari konteks pasal ini, larangan
terhadap wanita ini tampaknya bersifat kekal, karena Paulus mendasarkan
argumentasinya pada ajaran Perjanjian Lama. Isu tentang kemungkinan Paulus
mengadopsi pandangan rabi Yahudi dalam menafsirkan teks ini bukanlah sesuatu yang
penting. Apa yang Paulus tuliskan tetaplah Firman Allah.
Istri
dalam pernikahan (Efesus 5:22-24)
Dalam bagian ini Paulus memerintahkan
istri-istri untuk tunduk kepada suami mereka (ayat 22). Ketundukan ini bahkan
harus dipraktikkan dalam segala sesuatu (ayat 24). Apakah ketundukan ini merupakan
sesuatu yang bernilai kekal dan bersifat mutlak?
Hal pertama yang perlu dipahami, ayat 22
tidak memiliki kata kerja sama sekali. Kata kerja “tunduk” berasal dari ayat
21, ketika Paulus memerintahkan orang percaya untuk merendahkan diri ({upotassw)
satu dengan yang lainnya. Lebih lanjut, bentuk participle {upotassomenoi di
ayat 21 merupakan participle keempat yang menjelaskan bagaimana seseorang
dipenuhi Roh Kudus (ayat 18). Participle yang lain terdapat di ayat 19a, 19b
dan 20. Dari struktur kalimat seperti ini terlihat bahwa kerendahhatian
terhadap sesama jemaat dan ketundukan kepada suami merupakan salah satu tanda
bahwa seseorang dipenuhi oleh Roh Kudus. Penggunaan {upotassw di ayat 21 (dan
ayat 22) mengindikasikan bahwa ketundukan ini lebih bermakna menempatkan diri
lebih rendah daripada orang lain, bukan ketundukan seperti antara tuan dengan
hamba. Di samping itu, struktur kalimat di atas mengajarkan bahwa dalam konteks
gereja (sebagai sesama tubuh Kristus) semua orang (termasuk suami-istri) harus
saling merendahkan diri (ayat 21), tetapi dalam konteks pernikahan si istrilah
yang harus tunduk kepada suami.
Ketundukan istri di sini tampaknya
memiliki ikatan yang bernilai kekal, karena didasarkan pada prinsip Firman
Tuhan (ayat 23, band. 1Kor 11:3). Alasan ketundukan bukan bersifat praktis,
seperti ketakutan pada pihak istri karena kemungkinan pelecehan verbal/fisik
dari pihak suami. Alasan ini juga bukan bersifat kultural, karena Paulus tidak
menghubungkan hal itu dengan budaya pada waktu itu.
Berdasarkan konsistensi ajaran Alkitab,
ketundukan dalam segala sesuatu ini tidak boleh diartikan secara mutlak. Kata
Yunani “segala sesuatu” (pas) tidak selalu berarti “setiap hal”. Jangkauan pas
harus ditentukan oleh konteks yang ada. Dalam konteks ini “segala sesuatu” merujuk
pada segala hal selama suami tunduk kepada Kristus. Dalam konteks suami
memerintahkan istri melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan kebenaran (Allah), istri tidak harus menaati suaminya
(band. Kis 4:19 dan Rom 13:1-8).
Konklusi
Alkitab tidak pernah meniadakan
perbedaan antara pria dan wanita. Mereka sama dalam beberapa hal, tetapi mereka
juga berbeda dalam banyak hal yang lain. Dalam kedaulatan-Nya yang mutlak,
Allah telah menetapkan laki-laki di atas wanita dalam hal otoritas, terutama dalam
gereja dan rumah tangga. Penetapan otoritas ini tidak berarti penghilangan
peranan dan optimalisasi talenta wanita. Allah perlu menetapkan urutan otoritas
dalam segala hal, karena kalau tidak ada aturan yang jelas manusia akan memakai
patokan lain yang justru lebih mengacaukan tatanan masyarakat.
Wanita tetap diberi ruang gerak tertentu
dalam gereja. Mereka dipakai Allah untuk bernubuat atau terlibat dalam
pekerjaan Tuhan yang lain. Eksistensi beberapa wanita Kristen di Perjanjian
Baru menunjukkan keistimewaan peranan mereka dalam pekabaran Injil. Wanita juga
ada kemungkinan boleh mengajar, asalkan hal itu tidak didasari pada konsep atau
motivasi ingin mendominasi laki-laki.
Tentang kepemimpinan wanita dalam
gereja, Alkitab tidak memberikan catatan yang eksplisit. Tidak ada ayat yang
secara khusus melarang kepemimpinan wanita dalam konteks jabatan gereja,
walaupun pembatasan ini disinggung dalam konteks ibadah. Di sisi lain, rujukan
tentang kepemimpinan laki-laki dalam gereja justru melimpah. Berdasarkan
inferensi dari data Alkitab yang tersedia, Alkiatb tampaknya mendukung
kepemimpinan laki-laki dalam gereja.